Selasa, 08 April 2014

Kasih Sejati Seorang Ibu

Di sebuah rumah sakit bersalin, seorang ibu baru saja melahirkan jabang bayinya. "Bisa saya melihat bayi saya?" pinta ibu yang baru melahirkan itu penuh rona kebahagiaan di wajahnya. Namun, ketika gendongan berpindah tangan dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki mungil itu, si ibu terlihat menahan napasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit, tak tega melihat perubahan wajah si ibu. Bayi yang digendongnya ternyata dilahirkan tanpa kedua belah telinga! Meski terlihat sedikit kaget, si ibu tetap menimang bayinya dengan penuh kasih sayang.
Waktu membuktikan, bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk. Suatu hari, anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan si ibu sambil menangis. Ibu itu pun ikut berurai air mata. Ia
tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Sambil terisak, anak itu bercerita, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh."

Begitulah, meski tumbuh dengan kekurangan, anak lelaki itu kini telah dewasa. Dengan kasih sayang dan dorongan semangat orangtuanya, meski punya kekurangan, ia tumbuh sebagai pemuda tampan yang cerdas. Rupanya, ia pun pandai bergaul sehingga disukai teman-teman sekolahnya. Ia pun mengembangkan bakat di bidang musik dan menulis. Akhirnya, ia tumbuh menjadi remaja pria yang disegani karena kepandaiannya bermusik.

Suatu hari, ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuk putra Bapak. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Maka, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya kepada anak mereka.
Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelaki itu, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kata si ayah.
Operasi berjalan dengan sukses. Ia pun seperti terlahir kembali. Wajahnya yang tampan, ditambah kini ia sudah punya daun telinga, membuat ia semakin terlihat menawan. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya.
Beberapa waktu kemudian, ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia lantas menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar, namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya."
Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini."
Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari, tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga tersebut. Pada hari itu, ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, si ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku. Sang ayah lantas menyibaknya sehingga sesuatu yang mengejutkan si anak lelaki terjadi. Ternyata, si ibu tidak memiliki telinga.
"Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik si ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya, ‘kan?"
Melihat kenyataan bahwa telinga ibunya yang diberikan pada si anak, meledaklah tangisnya. Ia merasakan bahwa cinta sejati ibunya yang telah membuat ia bisa seperti saat ini.

Sahabat,
Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh, namun ada di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun justru pada apa yang kadang tidak dapat terlihat. Begitu juga dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Di sana selalu ada inti sebuah cinta yang sejati, di mana terdapat keikhlasan dan ketulusan yang tak mengharap balasan apa pun.
Dalam cerita di atas, cinta dan pengorbanan seorang ibu adalah wujud sebuah cinta sejati yang tak bisa dinilai dan tergantikan. Cinta sang ibu telah membawa kebahagiaan bagi sang anak. Inilah makna sesungguhnya dari sebuah cinta yang murni. Karena itu, sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan jasa seorang ibu. Sebab, apa pun yang telah kita lakukan, pastilah tak akan sebanding dengan cinta dan ketulusannya membesarkan, mendidik, dan merawat kita hingga menjadi seperti sekarang.
Mari, jadikan ibu kita sebagai suri teladan untuk terus berbagi kebaikan. Jadikan beliau sebagai panutan yang harus selalu diberikan penghormatan. Sebab, dengan memperhatikan dan memberikan kasih sayang kembali kepada para ibu, kita akan menemukan cinta penuh ketulusan dan keikhlasan, yang akan membimbing kita menemukan kebahagiaan sejati dalam kehidupan.

Andrie Wongso

Senin, 24 Maret 2014

Telur....??? Wortel....??? Kopi....????

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api.

Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. 
Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api.

Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?”"Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras.

Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?”

Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi ‘kesulitan’ yang sama, melalui proses perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.

“Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?” Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.”

“Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan maka hatimu menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?.”

“Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat.”

“Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.”


### : “Ada kekuatan besar dalam setiap orang dan tidak ada sesuatupun yang mampu menahan itu kecuali dirinya sendiri”

Kamis, 20 Maret 2014

5 Menit Saja

Seorang ibu duduk di samping seorang pria di bangku dekat Taman-Main di West Coast Park pada suatu minggu pagi yang indah cerah. “Tuh.., itu putraku yang di situ,” katanya, sambil menunjuk ke arah seorang anak kecil dalam T-shirt merah yang sedang meluncur turun dipelorotan. Mata ibu itu berbinar, bangga.
“Wah, bagus sekali bocah itu,” kata bapak di sebelahnya. “Lihat anak yang sedang main ayunan di bandulan pakai T-shirt biru itu? Dia anakku,” sambungnya, memperkenalkan. Lalu, sambil melihat arloji, ia memanggil putranya. “Ayo Jack, gimana kalau kita sekarang pulang?” Jack, bocah kecil itu, setengah memelas, berkata, “Kalau lima menit lagi,boleh ya, Yahhh? Sebentar lagi Ayah, boleh kan? Cuma tambah lima menit kok,yaaa…?”

Pria itu mengangguk dan Jack meneruskan main ayunan untuk memuaskan hatinya. Menit menit berlalu, sang ayah berdiri, memanggil anaknya lagi. “Ayo, ayo, sudah waktunya berangkat?” Lagi-lagi Jack memohon, “Ayah, lima menit lagilah. Cuma lima menit tok, ya? Boleh ya, Yah?” pintanya sambil menggaruk-garuk kepalanya. Pria itu bersenyum dan berkata, “OK-lah, iyalah…”
“Wah, bapak pasti seorang ayah yang sabar,” ibu yang di sampingnya, dan melihat adegan itu, tersenyum senang dengan sikap lelaki itu. Pria itu membalas senyum, lalu berkata, “Putraku yang lebih tua, John, tahun lalu terbunuh selagi bersepeda di dekat sini, oleh sopir yang mabuk. Tahu tidak, aku tak pernah memberikan cukup waktu untuk bersama John. Sekarang apa pun ingin kuberikan demi Jack, asal saja saya bisa bersamanya biar pun hanya untuk lima menit lagi. Saya bernazar tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi terhadap Jack. Ia pikir, ia dapat lima menit ekstra tambahan untuk berayun, untuk terus bermain. Padahal, sebenarnya, sayalah yang memperoleh tambahan lima menit memandangi dia bermain, menikmati kebersamaan bersama dia, menikmati tawa renyah-bahagianya….”
Hidup ini bukanlah suatu lomba. Hidup ialah masalah membuat prioritas. Berikanlah pada seseorang yang kaukasihi, lima menit saja dari waktumu, dan engkau pastilah tidak akan menyesal selamanya. Prioritas apa yang Anda miliki saat ini?

Minggu, 16 Maret 2014

Cinta dan Waktu . . . . .

Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak. Ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan dan sebagainya. Mereka hidup berdampinga dengan baik.
Namun, suatu ketika datang badai menghempas seluruh pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan menenggelamkan pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. Cinta sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta.
Tak lamaCinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahu. “Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!” Teriak Cinta. “Aduh! Maaf, Cinta” kata kekayaan, “perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu diperahuku ini.”
Lalu kekayaan cepat-cepat mengayuh perahunya pergi. Cinta sedih sekali, namun kemudian dilihatnya Kegembiraan ia tak mendengar teriakan Cinta.
Air makin tinggi membasahi Cinta sampai ke pinggang dan Cinta semakin panik. Tak lama lewatlah Kecantikan. “Kecantikan! bawalah aku bersamamu!”, teriak Cinta. “Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini.” Sahut kecantikan.
Cinta sedih sekali mendengarnya, ia mulai menangis terisak-isak. Saat itu lewatlah Kesedihan. “Oh, Kesedihan, bawalah aku bersamamu,” kata Cinta. “Maaf, Cinta. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja…” kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya. Cinta putus asa. Ia merasakan air makin naik dan menenggelamkannya. Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, “Cinta! Mari cepat naik perahuku!” Cinta menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang tua dengan perahunya. Cepat-cepat Cinta naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya.
Di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan Cinta dan segera pergi lagi. Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang menyelamatkannya itu. Cinta segera menanyakan kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapakah sebenarnya orang tua itu. “Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu.” kata orang itu. “Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku” tanya Cinta heran. “Sebab,” kata orang itu, “hanya Waktu lah yang tahu berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu …"